makalah pengantar ilmu ekonomi syariah
PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM
Kata Pengantar
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi
maha penyayang, kami panjatkan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Produksi dalam Ekonomi Islam.
Makalah
ini telah kami susun secara maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber buku sehingga dapat memperlancarkan pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata
kami berharap semoga makalah tentang ini dapat diterima memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Mataram, 18
Maret 2018
Penyusun
Kelompok
5
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................................. i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.............................................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan...........................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Produksi....................................................................................... 3
B.
Tujuan
dan Prinsip-prinsip Produksi dalam Ekonomi Islam................... 4
C.
Mekanisme
Produksi dalam Ekonomi Islam.............................................. 9
D.
Faktor-faktor dalam Ekonomi Islam.......................................................... 13
BAB III PENUTUP
A.
Simpulan..................................................................................................... 19
B.
Saran........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Produksi adalah bagian terpenting dari ekonomi Islam bahkan dapat
dikatakan sebagai salah satu dari rukun ekonomi disamping konsumsi, distribusi,
redistribusi, infak dan sedekah. Karena produksi adalah kegiatan manusia untuk
menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen. Pada
saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan
konsumsi dapat dilakukan dengan manusia secara sendiri. Artinya seorang
memproduksi barang/jasa kemudian dia mengonsumsinya. Akan tetapi seiring dengan
berjalannya waktu dan beragamnya kebutuhan konsumsi serta keterbatasannya
sumber daya yang ada (kemampuannya), maka seseorang tidak dapat lagi
menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, akan tetapi membutuhkan
orang lain untuk menghailkannya. Oleh Karena itu kegiatan produksi dan
konsumsi dilakukan oleh pihak-pihak yang
berbeda. Dan untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan produktifitas lahirlah
istilah spesialisasi produksi, diversifikasi produksi dan penggunaan tehnologi
produksi.
Dalam kita suci Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Konsep produksi
barang dan jasa dideskripsikan dengan istilah-istilah yang lebih dalam dan
lebih luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi.
Memproduksi suatu barang harus mempunyai
hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi
untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk memproduksi barang mewah
secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga
kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak
produktif. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi
barang-barang mewah yang berlebihan
dalam keadaan apapun.
Oleh karena itu, konsep produksi yang dianggap sebagai kerja
produktif dalam Islam adalah proses
produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan manusia. Dan
kerja produktif semacam ini dapat diistilahkan sebagai ‘amal saleh’ yang
mengandung banyak kemaslahatan dan keberkahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan produksi?
2. Apa tujuan dan prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi Islam?
3. Apa saja mekanisme produksi dalam Islam?
4. Sebutkan faktor-faktor produksi dalam Islam?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah
dengan judul “Produksi dalam Ekonomi Islam” adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Syariah
2. Untuk mengetahui produksi dalam ekonomi Islam
3. Untuk mengetahui tujuan dan prinsip-prinsip, mekanisme, faktor-faktor
produksi dalam ekonomi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Produksi dalam Islam
Kata “produksi” telah menjadi kata Indonesia, setelah diserap dalam pemikiran
ekonomi bersamaan dengan kata “distribusi” dan “konsumsi”. Dalam kamus
Inggris-Indonesia oleh John M. Echols dan Hasan Shadily, kata “production”
secara linguistic mengandung arti penghasilan.
Kegitaan
produksi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat
(utility) baik di masa kini maupun di masa mendatang. Dengan pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan produksi tidak terlepas dari keseharian
manusia.
Para
ahli ekonomi mendefinisikan produksi sebagai “menghasilkan kekayaan melalui
eksploitas manusia terhadap sumber-sumber kekayaan lingkungan” atau bila kita
artikan secara konvensional, produksi adalah proses menghasilkan atau menambah
nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Dalam
perspektif Islam, produksi yaitu suatu usaha untuk menghasilkan dan menambahkan
nilai guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi
moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana
digariskana dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad dalam bukunya Muqaddimah fi ‘Ilm al-Iqtishad
al-Islamiy. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan
proses produksi yang dijadikan ukuran
utamanya adalah nilai manfaat (utility) yang diambil dari hasil produksi
tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada nilai utility dan
masih dalam bingkai nilai ‘halal’ serta tidak membahayakan bagi diri seseorang
ataupun sekelompok masyarakat. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi
pemikirannya dengan mengacu pada QS Al-Baqarah, [2]: 219 yang menjelaskan
tentang pertanyaan dari manfaat memakai (memproduksi) khamr. [1]
Dalam bahasa Arab, arti produksi adalah al-intaj dari akar kata nataja
yang berarti mewujudkan atau mengadakan sesuatu, atau pelayanan jasa yang
jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang
terbingkai dalam waktu yang terbatas.
Dalam ekonomi Islam, tujuan utama produksi adalah untuk kemaslahatan
individu dan masyarakat secara berimbang. Islam sesungguhnya menerima motif
berproduksi sebagaimana motif dalam sistem ekonomi konvensional, hanya saja
lebih jauh Islam juga menambahkan nilai-nilai moral disamping utilitas ekonomi.
Bagi Islam memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau
dijual di pasar, tetapi lebih jauh menekankan bahwa setiap kegiatan produksi
harus pula mewujudkan fungsi social. Dalam QS al-Hadid (57);7 Allah berfirman;

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”[2]
Dengan kata lain, di samping produksi dimaksudkan untuk mendapatkan
utilitas, juga untuk memperbaiki kondisi fisik materiil dan spiritual-moralitas
manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam
agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.[3]
B. Tujuan dan Prinsip-Prinsip Produksi dalam Ekonomi Islam
a. Tujuan
Tujuan produksi dalam Islam sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
tujuan diciptakan dan diturunkannya manusia ke muka bumi, yaitu sebagai
khalifah Allah di muka bumi (2/al-Baqarah:30), pemakmur bumi (imarah al-ardh)
(11/Hud: 61), yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya (51-adz-Dzariyat: 56).
Dengan memahami tujuan penciptaan manusia tersebut, kita lebih mudah
memahami tujuan produksi dalam Islam. Sebagai khalifah, manusia mendapat amanat
untuk memakmurkan bumi. Ini berarti bahwa manusia diharapkan manusia campur
tangan dalam proses-proses untuk mengubah dunia dari apa adanya menjadi apa
yang seharusnya.
Tujuan produksi dalam Islam adalah untuk memenuhi segala bentuk
kebutuhan manusia. Dengan terpenuhinya kebutuhan manusia ini diharapkan bisa
tercapai kemaslahatan atau kesejahteraan baik bagi individu maupun kolektif.
Produksi tidak hanya dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan umat Islam pada
umumnya. Di samping itu, dalam pandangan ekonomi Islam, motivasi produsen semestinya
sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan produsen itu sendiri. Jika
tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan materiel dan spiritual untuk
menciptakan maslahah, maka motivasi produsen tentu juga mencari maslahah, yang
juga sejalan dengan tujuan kehidupan umat Islam.[4]
Menurut Nejatullah Shiddiqi (1996), pertumbuhan ekonomi yang merupakan
wujud produksi dalam islam bertujuan:[5]
a.
Merespons kebutuhan produsen secara pribadi
dengan bentuk yang memiliki ciri keseimbangan.
b.
Memenuhi kebutuhan keluarga.
c.
Mempersiapkan sebagian kebutuhan terhadap
ahli warisnya dan generasi penerusnya.
d.
Pelayanan social dan berinfak di jalan
Allah.
Tujuan produksi menurut perspektif fiqih ekonomi khalifah Umar bi Khatab
adalah sebagai berikut:
1. Merealisasikan keuntungan seoptimal mungkin.
2. Merealisasikan kecukupan individu dan keluarga.
3. Tidak mengandalkan orang lain.
4. Melindungi harta dan mengembangkannya.
5. Mengeksplorasi sumber-sumber ekonomi dan mempersiapkannya untuk
dimanfaatkan.
6. Pembebasan dari belenggu ketergantungan ekonomi.
7. Taqarrub kepada Allah SWT.
b. Prinsip-Prinsip Produksi dalam Ekonomi Islam
1. Motivasi berdasarkan keimanan
Aktivitas produksi yang dijalankan seorang pengusaha muslim terikat
dengan motivasi keimanan atau keyakinan positif, yaitu semata-mata untuk mendapatkan
Ridha Allah SWT, dan balasan di negeri akhirat. Sehingga dengan motivasi atau
keyakinan positif tersebut maka prinsip kejujuran, amanah, dan kebersamaan akan
dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip tersebut menolak prinsip individualisme
(mementingkan diri sediri), curang, khianat yang sering dipakai oleh pengusaha
yang tidak memiliki motivasi atau keyakinan positif. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surah Az Zukhruf ayat 32, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahma
Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Hal ini menunjukan bahwa tujuan seseorang pengusaha muslim tidak
semata-mata mencari keuntungan maksimum, tetapi puas terhadap pencapaian
tingkat keuntungan yang wajar (layak). Tingkat keuntungan dalam berproduksi
bukan lahir dari aktivitas yang curang, tetapi keuntungan tersebut sudah
merupakan ketentuan dari Allah SWT sehingga keuntungan seorang pengusaha muslim
di dalam berproduksi dicapai dengan menggunakan atau mengamalkan
prinsip-prinsip Islam, sehingga Allah SWT Ridha terhadap aktivitasnya.[6]
2. Berproduksi berdasarkan azas manfaat dan maslahat
Seorang muslim dalam menjalankan proses
produksinya tidak semata mencari keuntungan maksimum untuk menumpuk aset
kekayaan. Berproduksi bukan semata-mata Karena profit ekonomis yang
diperolehnya, tetapi juga seberapa penting manfaat keuntungan tersebut untuk
kemaslahatan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Az Zariyat ayat
19: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian”. Juga terdapat dalam surat Al
Ma’arij ayat 24-25: “dan orang-orang yang dalam hartanya tesedia bagian
tertentu “Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mampunyai apa-apa
(yang tidak mau meminta)”.
Pemilik dan manajer perusahaan Islami juga
menjadikan objek utama proses produksi sebagai “memperbesar sedekah”. Tentang
ojek ini tidak perlu harus memiliki arti ekonomi seperti dalam sistem ekonomi
pasar bebas. Perusahaan yang Islami percaya bahwa pengeluaran untuk sedekah
merupakan sarana untuk memuaskan keinginan Tuhan, dan akan mendatang
keberuntungan terhadap perusahaan, seperti meningkatnya permintaan atas
produksinya.
3. Mengoptimalkan kemampuan akalnya
Seorang muslim harus menggunakan kemampuan
akalnya (kecerdasannya), serta profesionalitas dalam mengelola sumber daya.
Karena faktor produksi yang digunakan untuk menyelenggarakan proses produksi
sifatnya tidak terbatas, manusia perlu berusaha mengoptimalkan kemampuan yang
telah Allah berikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Ar-Rahman ayat 33: “Hai Jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
melainkan dengan kekuatan”.
Beberapa ahli tafsir menafsirkan “kekuatan”
dengan akal pikiran. Demikian pula ketika berproduksi, seorang pengusaha muslim
tidak perlu pesimis bahwa Allah SWT tidak akan memberikan rezeki kepadanya,
karena bagi orang yang beriman maka Allah-lah penjamin rezekinya. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Fushilat ayat 31: “Kamilah pelindung-pelindung
dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkandam memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta”. Dalam surat
Fathir ayat 1, [7]Allah
berfirman: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan
malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah
menambahkan ciptaannya apa yang dikehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.
4. Adanya sikap tawazun (keberimbangan)
Produksi dalam Islam juga mensyaratkan
adanya sikap tawazun (keberimbangan) antara dua kepentingan, yakni
kepentingan umum dan kepentingan khusus (Abdullah Abdul Husein, 2004). Keduanya
tidak dapat dianalisis secara hierarkis, melaikan harus sebagai satu kesatuan.
Produksi dapat menjadi haram jika barang yang dihasilkan ternyata hanya akan
membahayakan masyarakat mengingat adanya pihak-pihak yang dirugikan dari
kehadiran produk, baik berupa barang maupun jasa. Produk-produk dalam kategori
ini hanya memberikan dampak ketidakseimbangan dan kegoncangan bagi aktivitas ekonomi secara umum. Akibatnya,
misi rahmatan lil ‘alamiin ekonomi Islam tidak tercapai.
5. Harus optimis
Seorang produsen muslim yakin bahwa apa pun
yang diusahakannya sesuai dengan ajaran Islam tidak membuat hidupnya menjadi
kesulitan. Allah SWT telah menjamin rezekinya dan telah menyediakan keperluan
hidup seluruh makhluk-Nya termasuk manusia. Sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Mulk ayat 15: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.
Dan hanya kepadaNya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Demikianlah
juga firman Allah SWT dalam surat Al-Hijr ayat 19-20: “Dan kami telah
menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (kami menciptakan
pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya”.
Ijuga dalam surat Huud ayat 6: “dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfudz)”.
6. Menghindari praktik produksi yang haram
Seorang produsen muslim menghindari praktik
produksi yang mengandung unsur haram atau riba, pasar gelap, dan spekulasi
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90: “Hai orang-orang
beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib
dengan anak panah, adalah perbuatan keji (termasuk perbuatan setan). Maka
jauhilan perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan”. Dalam
surat Al-Imron ayat 130: Allah SWT berfirman tentang larangan riba: “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu makan riba yang berlipat ganda, dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu berbahagia”. [8]
C. Mekanisme Produksi dalam Islam
Atas dasar pertimbangan kemaslahatan (altruistic
considerations), menurut M. Abdul Mannan, pertimbangan mekanisme produksi
tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pada permintaan pasar (given
demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data
sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang
kuantitas produksi. Sebaliknya, dalam sistem konvensional, perusahaan diberikan
kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang
menjadi permintaan pasar (effective demand), sehinga dapat menjadikan
kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Gambaran
mekanisme produksi dalam Islam dapat dilakukan dengan menggunakan analisis
kurva atau garis. Gambaran mekanisme produksi adalah menunjukkan hubungan
antara jumlah barang yang diproduksi dan biaya yang dikeluarkan. Hal ini dapat
di gambar menggunaka kurva sebagai berikut:[9]
1. Kurva Biaya (Cost)
Untuk memproduksi suatu produk tertentu dibutuhkan biaya tetap (fixed
cost = FC) dan biaya keseluruhan (total cost = TC). Produk yang
dihasikan dijual untuk mendapatkan penerimaan, maka akan di temukan total
penerimaan dan hasil penjualan produk atau disebut total revenue (TR).
Hubungan antar FC, TC, dan TR dapat digambarkan dalam grafik Hubungan Biaya,
Penerimaan dan Jumlah produksi:





Biaya yang dikeluarkan oleh produsen
dibedakan menjadi biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC). Fixed cost adalah
besaran biaya yang dikeluarkan tidak dipengaruhi oleh beberapa banyak output
atau produk yang dihasilkan.
Variable cost adalah biaya yang besarnya ditentukan
langsung oleh berapa banyak output yang dihasilkan. Total cost adalah
keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoduksi suatu barang (FC = FC +
VC). Total penerimaan (total revenue) adalah jumlah penerimaan yang diperoleh
dari penjualan produk yang dapat dijual. Adanya beban bunga yang harus dibayar
produsen (sebagai biaya tetap), maka biaya tetap produsen naik, yang gilirannya
juga meningkatkan biaya total dari TC ke Tci. Naiknya biaya total akan
menggeser atau mendorong titik i, pas (break even point) dari suatu Q ke
Q berikutnya. Perhatikan gambar Hubungan Biaya, penerimaan dan jumlah
produksi dengan pola bunga berikut:[10]







2. Kurva Penerimaan (Revenue)
Dalam kaitan dengan total penerimaan ada tiga model, yaitu: Revenue
Sharing (rs), Profit Sharing (ps), dan Profit and Lose Sharing (pls).
a. Revenue Sharing
Dalam system bagi hasil yang berubah adalah kurva total penerimaan (TR).
Kurva ini akan berputar kea rah jarum jam dengan titik O (origin)
sebagai sumbu putarnya. Kurva TR ini akan berputar sehingga dapat sampai
mendekati sumbu horizontal sumbu X.
Revenue Sharing adalah mekanisme bagi hasil dimana seluruh
biaya ditanggung oleh pengelola modal, sedangkan pemilik modal tidak menanggung
biaya produksi. Titik BEP adalah titik impas yang terjadi ketika TR berpotongan
kurva TC (BEP terjadi ketika TR = TC).
Perhatikan gambar Hubungan Biaya, Penerimaan dan Jumlah Produksi
dengan pola Revenue Sharing berikut:






Mekanisme revenue sharing memiliki persamaan dan perbedaan dengan
mekanisme bunga. Persamaannya adalah bergesernya Q ke Qi/Qrs (bahwa Qi > Q dan Qrs > Q) pada kedudukannya di
titik BEP. Sementara perbedaannya adalah jika mekanisme bunga yang bergerak
adalah kurva biaya tetap dan biaya total, namun pada mekanisme revenue
sharing kurva yang bergeser adalah kurva total penerimaan (TR) searah jarum
jam.
b. Profit Sharing
Dalam akad hukum ekonomi Islam dikenal akad mudharabah, yaitu
akad yang disepakati antara pemilik modal dengan pelaksana usaha mengenai
nisbah bagi hsil sebagai pedoman pembagian keuntungan. Perhatikan gambar Hubungan
Biaya, Penerimaan, dan Jumlah Produksi dengan pola Profit Sharing berikut:[11]






Pada Profit Sharing, seluruh biaya ditanggung oleh pemodal, maka
yang dibagi adalah keuntungan. Kurva TR pada mekanisme bagi hasil akan berputar
dengan poros titik BEP (BEP sebagai tanda mulai terjadinya keuntungan.
Di samping akad mudharabah, ada akad musyarakah. Bagi
untung yang terjadi pada tataran atas tidak perlu simetris dengan bagi rugi
yang terjadi pada tataran bawah, karena bagi untung berdasarkan nisbah,
sedangkan bagi rugi berdasarkan penyertaan modal masing-masing.
c. Profit dan Loss Sharing
Dalam akad bagi untung dan bagi rugi dapat diakukanpada akad syirkah.
Bagi untung dan bagi rugi tidak terjadi secara simetris, karena adanya dasar
yang berbeda. Bagi untung didasarkan pada besaran penyertaan modal. Bagi untung
terjadi antara kurva TR dan TC dan bagi rugi terjadi antara kurva TC dan TR,
dengan sumbu putarnya dari titik 0. Objek yang dibagihasilkan adalah TR-TC.
Dalam merancang suatu kegiatan produksi, ada beberapa langkah yang perlu
diperhatikan, yaitu: Pertama meramaikan permintaan dengan menentukan
jumlah produksi barang yang dibutuhkan pasar dalam jangka waktu yang tertentu.
(a) mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan para pelanggan, (b) melakukan
riset mengenai besarnya pasar dan persaingan yang dihadapi dalam pasar
tersebut, dan (c) apabila diperlukan, meminta jaa konsultan atau orang-orang
yang mempunya kompetensi untuk melihat prospek usaha dalam memasarkan
barangnya. Kedua, merencanakan kapasitas produksi, baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek. Ketiga, memilih lokasi usaha dengan
terlebih dahulu mempertimbangkan biaya-biaya yang akan dikeluarkan; biaya untuk
tenaga kerja, pembelian tanah untuk usaha, listrik, cukup tidaknya tenaga ahli,
dan sebagainya. Keempat, merancang tata letak usaha. Kelima, melaksanakan
kegiatan produksi.[12]
D. Faktor-Faktor Produksi dalam Islam
Secara garis besar, faktor-faktor produksi
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu faktor manusia dan faktor
nonmanusia. Yang termasuk faktor manusia adalah tenaga kerja atau buruh dan
wirausahawan, sementara faktor nonmanusia adalah sumber daya alam, modal
(kapital), mesin alat-alat, gedung, dan input-input fisik lainnya.
Di kalangan para ahli ekonomi Muslim, belum ada
kesepakatan tentang faktor-faktor produksi. Menurut al-Mawdudi, faktor produksi
terdiri atas amal atau kerja (labour), tanah (land), dan modal (capital).
Adapun menurut M. Abdul Mannan, faktor produksi hanya berupa amal (kerja)
dan tanah. Modal bukanlah merupakan faktor produksi yang independen, karena
modal bukanlah faktor dasar. Modal merupakan manifestasi dan hasil atas suatu
pekerjaan. Dalam ekonomi konvensional, modal (capital) yang telah
diberikan menuntut adanya return, yang biasanya berupa bunga.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat diatas, beberapa
ahli ekonomi islam, sebagaimana ahli ekonomi konvensional, membagi
faktor-faktor produksi menjadi empat, yaitu tanah (sumber daya alam), tenaga
kerja (sumber daya manusia), modal, dan organisasi.
1. Sumber Daya Alam
Allah
menciptakan alam didalamnya mengandung banyak sekali kekayaan yang bisa
dimanfaatkan oleh manusia. Manusia sebagai makhluk Allah yang bisa mengubah
kekayaan tersebut menjadi barang capital atau pemenuhan yang lain. Menurut
ekonomi Islam, jika alam dikembangkan dengan kemampuan dan teknologi yang baik,
maka alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak akan terbatas, berbeda
dengan pandangan ilmu ekonomi konvensional yang menyatakan kekayaan alam
terbatas dan kebutuhan manusia bersifat terbatas dan hawa nafsu mereka yang
tiak terbatas.
Sumber
daya alam diciptakan Allah untuk dikelola oleh umat manusia. Seleruh isi bumi,
secara sengaja diciptakan oleh-Nya untuk kepentingan dan kebutuhan manusia.
Tanah
merupakan sumber daya alam yang diperuntukan bagi manusia agar diolah sehingga
dapat menjadi lahan produktif. Sejak diciptakan dan ditempatkan di bumi,
manusia pertama, yaitu Adam dan istrinya Hawa, telah memulai kerja mengolah
tanah yang dapat menumbuhkan dan memproduksi tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan.
Allah menempatkan mereka berdua di bumi sebagai tempat untuk hidup sampai ajal
menjemput.
Rasulullah
menyarankan agar sumber daya alam yang berupa tanah hendaknya digarap sebagai
lahan produksi. Tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi. Tanah yang
dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak memberikan manfaat bagi
manusia. Sebaiknya tanah itu digarap, ditanami tumbuhan dan tanaman yang dapat
dipetik hasilnya ketika panen sehingga dapat memenuhi kebutuhan dasar berupa
pangan. Rasulullah bersabda:
“Dari Jabir r.a., katanya, Rasulullah
saw. Bersabda, “Barang siapa mempunyai sebidang tanah, maka hendaklah ia
menanaminya. Jika ia tidak bisa atau tidak mampu menanami, maka
hendaklah diserahkan kepada orang lain (untuk ditanami) dan janganlah
menyewakannya.” (HR. Muslim).
2. Sumber Daya Manusia
Allah
menciptakan manusia dengan maksud agar memakmurkan bumi, dalam arti mereka
memanfaatkan sumber daya alam di bumi dan menjadi tenaga-tenaga yang bertugas
mengelola dan memproduksi hasil-hasil bumi sehingga tercapai kesejahteraan
hidup. Allah berfirman dalam Qs. Hud (11): 61

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya.”
Dalam ayat
diatas, kata kunci dari faktor produksi sumber daya manusia terdapat dalam kata
wasta’marakum yang berarti kamu memakmurkannya. Di sini, manusia sebagai
khalifah di muka bumi diharapkan oleh Allah untuk menjadi pemakmur bumi dalam
pemanfaatan tanah dan alam. Kata pemakmur mengindikasikan manusia yang selalu
menjadikan alam ini makmur dan tidak menjadi perusak atau pengeksploitas alam
secara tidak bertanggung jawab. Manusia, dengan kemampuan dan akal-rasionalnya,
diperintah oleh Allah agar mengolah alam untuk kesinambungan alam itu sendiri.
Menurut Ahmad ibn ‘Ali al-Jashash, ayat tersebut menunjukkan bahwa umat manusia
wajib mengelola bumi sebagai lahan pertanian dan pembangunan.
Sumber daya
manusia merupakan faktor produksi yang paling penting dari beberapa faktor
produksi yang lain karena manusialah yang memiliki inisiatif atau ide,
mengorganisasi, memproses, dan memimpin semua faktor produksi non-manusia.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, kerja manusia adalah faktor produksi yang
terpenting. Yang dimaksud dengan kerja di sini adalah segala kemampuan dan
kesungguhan yang dikerahkan manusia, baik jasmani maupun pikiran, untuk
mengolah kekayaan alam, baik untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok.
Dalam proses
produksi, sumber daya manusia disebut dengan tenaga kerja. Secara umum, tenaga
kerja dibagi menjadi dua kategori: Pertama, tenaga kerja kasar/buruh kasar.
Allah memuliakan hamba-hamba-Nya walaupun mereka bekerja sebagai pekerja kasar.
Kedua, tenaga terdidik. Sumber daya manusia harus berkualitas dan
kompeten. Sumber daya manusia mempunyai beberapa syarat agar berkualitas dan
kompeten.
3. Modal atau Kapital (Capital)
Modal dalam
literature fiqh disebut ra’s al-mal yang menunjukkan pada pengertian
uang dan barang. Modal sebagai salah satu faktor produksi dapat diartikan
sebagai semua bentuk kekayaan yang dapat dipakai langsung atau tidak langsung
dalam proses produksi untuk menambah output. Modal juga mencakup segala
kekayaan baik dalam wujuduang (financial capital) maupun bukan uang (non-financial
capital) termasuk juga human capital yang berupa wawasan,
keterampilan, pengetahuan, dan kekayaan kemanusiaan lainnya yang sangat berguna
bagi kegiatan produksi.
Rasulullah
pernah menyarankan agar umat Islam bekerja meskipun sekedar mencari kayu bakar
di hutan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku (modal) yang berupa variable
asset, sebagaimana dalam sabdanya:
“Dari Abu Hurairah r.a., katanya, aku
mendengan Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah seseorang di antara kalian
berangkat pagi-pagi sekali mencari kayu bakar, lalu bersedekah dengannya dan
menjaga diri (tidak minta-minta) dari manusia lebih baik daripada meminta
kepada seseorang baik diberi atapun tidak. Tangan diatas lebih baik dari pada
tangan di bawah. Mulailah (member) kepada orang yang menjadi tanggung jawabmu.”
(HR. Muslim)
Hadits
diatas menjelaskan tentang prinsip produksi dalam Islam yang berusaha mengolah
bahan baku (dalam hal ini kayu bakar) untuk dapat digunakan sebagai penyulut
api (kompor pemasak makanan) dan dari kompor yang dipanaskan oleh kayu bakar
ini menghasilkan makanan yang dapat dikonsumsi. Tampaklah bahwa terjadi siklus
produksi dari pemanfaatan input berupa kayu bakar yang melalui proses
sedemikian rupa berupa pemasakan makanan yang pada akhirnya menghasilkan output
berupa makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia.
Mengelola
modal dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat bagi manusia dan alam
sekitar merupakan hal yang penting dan perlu ditindaklanjuti oleh semua pihak.
Rasulullah melarang iri kepada orang lain keculi dalam dua hal, yaitu orang
yang harta (modal)-nya digunakan dalam kebenaran dan orang yang mengamalkan dan
mengajarkan ilmunya. Rasulullah bersabda:
“Dari Ibn
Mas’ud r.a., katanya, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh iri
kecuali dalan dua perkara, yaitu (kepada) orang yang diberi harta oleh Allah
lalu ia menggunakan (menghabiskan)-nya dalam kebenaran dan orang yang diberi
hikmah (ilmu) oleh Allah kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari)
Dalam
ekonomi islam, modal dapat dikembangkan melalui beberapa bentuk transaksi: Pertama,
transaksi jual beli dengan mengembangkan modal usaha dimana seseorang
berada pada posisi sebagai penjual dan yang lain sebagai pembeli, seperti dalam
akad ba’i, salam, dan sebagainya. Kedua, transaksi bagi
hasil, yaitu pengembangan modal usaha dimana seseorang bertindak sebagai
pemberi modal dan yang lain bertindak sebagai pengelola modal dengan ketentuan
akan membagi hasil sesuai perjanjian yang telah disepakati, seperti yang
terlihat pada akad syirkah dan mudharabah. Ketiga, transaksi
jasa, yaitu pengembangan modal dimana seseorang bertindak sebagai konsumen atau
pemakai jasa dan wajib memberikan harga kepada pihak yang memberikan jasa
menurut kesepakatan yang telah dibuat, seperti pada akad rahn dan wadi’ah.
4. Organisasi atau Manajemen
Dalam sebuah
produksi hendaknya terdapat sebuah organisasi untuk mengatur kegiatan dalam
perusahaan. Dengan adanya organisasi setiap kegiatan produksi memiliki
penanggung jawab untuk mencapai suatu tujuan perusahaan. Diharapkan semua
individu dalam sebuah organisasi melakukan tugasnya masing-masing dengan baik
dan professional. Sebagai salah satu faktor produksi, organisasi merupakan
pernaungan segala unsur-unsur produksi dalam satu usaha produksi baik industry,
pertanian, maupun perdagangan. Organisasi bertujuan untuk mendapatkan laba
secara terus-menerus, dengan cara memfungsikan dan menyusun unsur-unsur
tersebut serta menentukan ukuran seperlunya dari setiap undur itu dalam
perusahaan. Organisasi atau manajemen merupakan proses merencanakan dan mengarahkan
kegiatan usaha perusahaan untuk mencapai tujuan. Tanpa organisasi dan manajemen
yang baik, suatu perusahaan tidak akan bisa melakukan aktivitas produksi dengan
baik pula. Dalam Islam, pentingnya perencanaan dan organisasi dapat dilihat
pada hakikat bahwa Allah sendiri adalah pelindung dan perencana yang baik,
sebagaimana disebutkan dlam Qs. Ali-‘Imran (3): 173 sebagai berikut.

“Mereka berkata, ‘Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik penolang”.
Peranan
organisasi dalam Islam sangat penting, apalagi jika dikaitkan dengan kegiatan
produksi. Ada beberapa ciri mendasar yang harus dimiliki oleh organisasi Islam
terkait dengan fungsinya sebagai salah satu faktor produksi. Manajemen atau
kecakapan tata laksana organisasi sering disebut dengan sebutan entrepreneurship.
Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible
(tidak dapat diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru amat
menentukan. Seorang entrepreneur mengorganisasikan
ketiga faktor produksi lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Ia pun
menanggung resiko untuk setiap jatuh bangun usahanya. Tidak pelak lagi bahwa
faktor produksi yang keempat ini adalah yang terpenting di antara semua faktor
produksi. Meskipun tidak bisa dilihat, setiap orang mengetahui dan merasakan
bahwa entrepreneurship atau managerial amat penting peranannya
sehubungan dengan produk yang dihasilkan.[13]
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa produksi
adalah suatu proses transformasi dari output menjadi input.
Memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau di jual di
pasar, tetapi lebih jauh menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula
mewujudkan fungsi social kemasyarakatan.
Tujuan produksi dalam Islam
adalah untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan manusia. Karena dengan
terpenuhinya kebutuhan manusia ini diharapkan bisa tercipta kemaslahatan atau
kesejahteraan baik bagi individu maupun kolektif. Produksi tidak hanya
dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan individu saja akan tetapi juga harus
dapat mencukupi kebutuhan umat Islam pada umumnya. Di samping tu, motivasi
produsen semestinya sejalan dengan tujuan produksi dan tujuan kehidupan
produsen itu sendiri. Jika tujuan produksi adalah menyediakan kebutuhan
materiil dan spiritual untuk menciptakan maslahah, maka motivasi produsen tentu
juga mencari maslahah, yang juga sejalan dengan tujuan kehidupan umat Islam
pada umumnya.
B. Saran
Dalam makalah ini penyusun menyadari masih banyak kekurangan
yang terdapat didalamnya, baik dari segi penulisan, susunan kata, bahan
referensi, dan lainya. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dari pihak
pembaca sebagai pengetahuan untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik dimasa
yang akan datang.
Demikianlah makalah yang
sederhana ini kami susun semoga dapat bermanfaat bagi penyusun pada khususnya
dan pembaca pada umumnya. Oleh sebab itu kritik dan saran, bahkan tidak
membangun sekalipun, kami tunggu demi kesempurnaan makalah ini. Semoga niat baik
kita di ridhoi oleh Allah SWT. Aamiin
DAFTAR
PUSTAKA
El, Badriah. 2016. Pengantar Ekonomi Islam. Mataram: Institut Agama
Islam Negeri (IANI) Mataram.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: PT Gelora
Aksara Pratama.
Ghofur, Abdul. 2017. Pengantar Ekonomi Syariah. Depok: PT Rajagrafindo
Persada.
[1]
Abdul Ghofur. 2017.
Pengantar Ekonomi Syariah. Hlm.
[2]
Al-Qur’an surat
Al-Hadid ayat 7
[3]
Baiq El Badriati. 2016.
Pengantar Ekonomi Islam. Hlm 56-57
[4] Baiq El-Badriati. 2016. Pengantar
Ekonimi Islam. Hlm 57-58
[5]
Lukman Hakim. 2002.
Primsip-prinsip Ekonomi Islam. Hlm 69-72
[7]
Lukman Hakim. 2002. Primsip-prinsip
Ekonomi Islam. Hlm 73-74
[8]
Lukman Hakim. 2002.
Primsip-prinsip Ekonomi Islam. Hlm 75
[9]
Baiq El-Badriati. 2016.
Pengantar Ekonimi Islam. Hlm 58-59
[10]
Baiq El-Badriati. 2016.
Pengantar Ekonimi Islam. Hlm 59-60
[11]
Baiq El-Badriati. 2016.
Pengantar Ekonimi Islam. Hlm 61
[12]
Baiq El-Badriati. 2016.
Pengantar Ekonimi Islam. Hlm 62
[13]
Baiq El-Badriati. 2016.
Pengantar Ekonimi Islam. Hlm 62-69
Komentar
Posting Komentar